Monday, March 29, 2010

Posted by adriani zulivan Posted on 12:51:00 PM | No comments

Jejaring Sosial untuk Jejaring Berita Bencana




Secara geografis, wilayah Indonesia rawan bencana. Banjir, angin ribut, gunung meletus, gempa bumi, hingga tsunami menjadi langganan. Di era penggunaan internet kini, apa yang dilakukan seseorang ketika berada di tengah situasi bencana?




Kejadian gempa bumi Ujung Kulon (16/10/2009) turut mengguncang Jakarta. Ada fenomena menarik sesaat setalah terjadinya gempa. Selain memanfaatkan ponsel untuk berkabar dengan kerabat, tak sedikit yang mengganti status di situs jejaring sosial (social networking/social media) tentang kejadian gempa yang mereka alami. Sampai-sampai muncul status kocak seperti "Orang Jakarta begitu gempa langsung ambil HP, update status".


Berbagi Berita
Jumlah pengguna social media terus meningkat. Tahun 2009 Facebook (FB) menjadi situs yang paling banyak diakses dan hingga September 2009 ada 1,2 juta pengguna Twitter di Indonesia (data Google Adplaner).


Fitur utama situs ini adalah pembaruan (update) status yang digunakan sebagai ajang berbagi informasi, mulai dari kejadian remeh temeh hingga informasi tentang bencana. "Keluarga, kerabat dan teman tahu posisiku dari FB. Mereka langsung tanggap dan mengontakku," cerita Kristupa Saragih, fotografer yang berada di Padang saat gempa 30 September 2009 lalu.

Mereka yang terus-menerus memperbarui status mengenai kondisi bencana menjadi semacam informan strategis, sebab posisi mereka berada langsung di tempat kejadian sehingga mampu melaporkan berdasar apa yang dilihat, dengar dan rasakan.


Beberapa saat setelah terjadi, gempa Sumbar menjadi trending topic1 (1,2%) Twitter (detikINET). "Itu menjadi laporan tercepat jika ada korban, atau seberapa besar gempa terjadi secara visual dan motorik bukan dari data ilmiah seismik," kata Kristupa yang aktif di berbagai situs jejaring sosial.

Pengguna Twitter/FB kerap memperoleh informasi lebih cepat dibanding pengumuman resmi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) ataupun Badan Survey Geologi Amerika Serikat (United State Geological Survey/USGS). Masih menurut Kristupa, misalkan seseorang memperbarui status dengan "Atap rumah runtuh, pohon bergoyang, Bantul gempa!" dari situ diperoleh data daerah yang merasakan goncangan dan perkiraan nisbi kekuatan gempa.


Logikanya, semakin jauh pusat gempa maka semakin lemah kekuatan gempa yang dirasakan. Orang-orang yang berada jauh dari episentrum mampu menghasilkan peta gempa sederhana dan cepat jika mau berpartisipasi aktif.

USGS perlu 15 menit untuk mempublikasi data yang belum diverifikasi ahli gempa bumi (seismologi), 30 menit kemudian baru mendapat verifikasi dan masih membutuhkan 10 menit untuk meng-update ke website. Bagaimana dengan BMKG? "Entahlah, tak dijamin konsistensinya. Bahkan tak ada grade laporan apakah data yang dipublikasikan sudah diverifikasi seismologi atau belum," pendapat Kristupa yang pernah berkarir sebagai ahli geologi ini.


Kecepatan pengumpulan data lewat Twitter menjadi alasan USGS membuat Twitter Earthquake Detector (TED) sebagai wadah berbagi dan memperoleh informasi gempa secara real time di seluruh belahan bumi.

Dendi Pratama membentuk grup FB yang dinamainya "Update Gempa Sumbar September 2009". Grup ini terus diperbarui dengan informasi yang didapat dari status masyarakat terkait gempa dan laporan langsung dari seorang reporter radio lokal.


Kala itu, traffic grup ini cukup padat. Apalagi pada H+4, ketika jaringan seluler pulih, mulai ramai masyarakat Sumbar yang memperbarui status FB. "Sejumlah relawan menghubungi kami, menanyakan kondisi medan yang akan mereka datangi untuk distribusi bantuan," cerita Dendi. Grup ini juga mengumpulkan video amatir yang direkam warga.

Banyak orang Minang yang merantau. Saat gempa lalu, mereka membutuhkan info spesifik, tak seperti liputan media mainstream. "Ada orang dari Jakarta yang bertanya tentang kediamannya di Padang: Mohon info tentang rumah coklat yang ada di perempatan jalan ini", kata Dendi yang seminggu setelah gempa berangkat ke Padang sebagai Ketua Relawan Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk Gempa Sumbar.

Mengakrabi Bencana
Sebagai gambaran, FB menerima lebih dari 1.500 status per menit di seluruh dunia yang mengandung kata “Haiti” pasca gempa Selasa (12/01) lalu. Hal itu direspon dengan pembuatan sebuah halaman (page) bertitel "Disaster Relief". Ini menunjukkan pentingnya social media dalam kondisi bencana. "Sayangnya, badan resmi kebencanaan milik pemerintah kita tak menggunakan media seperti ini untuk penyebaran informasinya," kata Dendi yang juga pernah menjadi relawan gempa Yogyakarta.

Sebagai negeri yang akrab dengan bencana, ada baiknya Indonesia melirik cara penyebar-luasan info bencana lewat social media. Memang benar bahwa hanya sebesar 13% dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia yang melek internet. Namun jumlah itu tak dapat dianggap remeh sebab dari sejumlah kasus besar, mereka terbukti mampu melakukan perubahan sosial.

Secara sederhana, itulah fungsi situs jejaring sosial dalam membantu berjalannya arus informasi di tengah kondisi bencana. Anda turut merasakannya?

Adriani Zulivan untuk KOMBINASI #31

1 Trending topic adalah topik yang paling banyak dibicarkan, dapat dicek dengan hashtags atau tanda "#" | lihat ini.

0 comments:

Post a Comment

  • Atribution. Powered by Blogger.
  • ngeksis

  • mata-mata